Udinese: Awalnya Cuma Nonton, Lama-Lama Jadi Tergila-Gila

Udinese

Jujur ya, waktu pertama kali ngikutin sepak bola Italia, Udinese bukan klub yang bakal nyantol di pikiran banyak orang. Namanya kalah mentereng dibanding Juventus, AC Milan, Inter. Tapi justru karena nggak banyak yang perhatiin, saya makin penasaran.

Awalnya sih cuma iseng, nyalain pertandingan malam minggu, dan kebetulan yang main waktu itu Sports Udinese lawan Napoli. Udinese kalah 1-2, tapi permainan mereka… solid banget. Nggak ada bintang mewah, tapi mainnya rapi, disiplin, dan cepat. Dari situ saya mulai ngulik-ngulik soal mereka, dan percaya deh — klub ini tuh underrated parah.

Sejarah Udinese Calcio: Lebih Tua dari Banyak Klub Besar

Juventus Sukses Amankan Tiga Poin di Friuli, Bekuk Udinese 2-0 - Radar  Surabaya

Bayangin wikipedia,club itu berdiri tahun 1896. Itu bahkan lebih tua dari beberapa klub Serie A terkenal lainnya. Mereka berasal dari kota kecil bernama Udine, yang ada di wilayah Friuli-Venezia Giulia, timur laut Italia.

Tapi ya gitu, meskipun udah lama banget berdiri, mereka nggak langsung jadi raksasa Italia. Mereka malah sering naik-turun kasta, dan baru benar-benar mapan di Serie A sejak era 1990-an.

Yang bikin salut tuh, meskipun bukan klub kaya, mereka tetap survive. Mereka punya sistem scouting yang bagus banget. Banyak pemain hebat yang awalnya nggak dikenal, malah moncer setelah main di club ini. Alexis Sánchez salah satunya, sebelum dia ke Barcelona.

Jadi, bisa dibilang club itu kayak tempat lahirnya talenta sebelum jadi bintang. Klub ini nggak terlalu sibuk beli pemain mahal, tapi pinter banget nemu permata dari negara-negara yang jarang dilirik.

Skuad Udinese Calcio: Nggak Ada Nama Besar, Tapi Selalu Ngegas

Kalo kamu liat skuad Udinese sekarang, mungkin nggak banyak yang familiar. Tapi itu justru kekuatan mereka.

Mereka punya pemain kayak:

  • Lazar Samardžić – gelandang muda Serbia yang punya tendangan jarak jauh mematikan.

  • Walace – pemain bertahan Brasil yang solid di lini tengah.

  • Isaac Success – striker asal Nigeria yang kuat badannya, tipe petarung.

Dan satu hal yang selalu ada di skuad Udinese dari dulu: semangat kerja keras.

Mereka main buat hasil, bukan buat gaya. Sering kali pemain-pemain ini nggak masuk berita, tapi di lapangan? Bikin repot banget lawan-lawan besar.

Saya masih inget satu momen gila, waktu musim 2011-2012, mereka finis di peringkat 3 Serie A. Udinese di posisi 3! Di atas Napoli, Lazio, Roma. Itu gila sih. Dan siapa pelatihnya waktu itu? Francesco Guidolin. Orangnya kalem, tapi otaknya taktis banget.

Kenapa Udinese Calcio Itu Ancaman di Liga Italia?

Banyak orang nyebut Udinese itu kuda hitam Serie A. Tapi menurut saya, mereka lebih dari itu. Mereka kayak serigala berbulu domba.

Kamu bisa aja remehin mereka sebelum peluit mulai, tapi pas peluit panjang? Bisa-bisa kamu kehilangan poin.

Alasannya?

  • Mereka fleksibel secara taktik. Bisa main bertahan, bisa nyerang balik, bisa nge-press.

  • Mereka terbiasa tanpa tekanan media. Jadi nggak ada drama ruang ganti.

  • Mereka haus pembuktian. Hampir semua pemainnya datang ke Udinese buat jadi lebih besar.

Dan ya, stadion mereka, Stadio Friuli, mungkin bukan stadion megah, tapi auranya intimidatif, terutama buat tim yang suka anggap remeh.

Perjalanan Panjang Penuh Lika-Liku

Saya sempat bikin catatan pribadi soal perjalanan mereka dari musim ke musim. Bukan karena pengen jadi sejarawan dadakan, tapi karena penasaran banget.

Dari awal 2000-an, Udinese beberapa kali ikut kompetisi Eropa. Pernah main di Liga Champions musim 2005-06, walaupun nggak sampai jauh. Tapi cuma masuk ke sana aja udah prestasi luar biasa buat klub sekecil Udinese.

Mereka juga sering banget masuk Europa League. Dan yang menarik, meskipun mereka sering jual pemain bintang (karena ya… siapa yang bisa nolak duit besar?), mereka selalu berhasil regenerasi.

Itu yang saya pelajari: konsistensi nggak harus artinya selalu menang, tapi selalu bisa bangkit.

Udinese itu contoh nyata.

Supporter Udinese: Tenang, Loyal, Tapi Nggak Gampang Puas

Stadion Friuli - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kalau bicara soal supporter, Udinese punya basis fans yang mungkin nggak sebesar Milanisti atau Interisti. Tapi yang saya salut, mereka itu setia.

Kota Udine nggak gede, penduduknya nggak sampai 100 ribu orang. Tapi stadion selalu punya yang datang, bahkan di hari-hari hujan dan lawannya cuma tim papan bawah.

Yang bikin saya kagum tuh, para fans ini nggak terlalu heboh di medsos, tapi mereka total dukung timnya. Dan kalau kamu datang ke stadion Stadio Friuli? Suasananya hangat banget. Seolah-olah kamu lagi nonton tim keluarga.

Mereka tahu tim mereka bukan favorit juara. Tapi mereka dukung terus. Bagi saya itu cinta yang jujur banget.

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Udinese Calcio?

Ini bagian favorit saya. Soalnya nonton dan ngikutin Udinese selama ini bikin saya banyak mikir juga soal hidup. (Iya, agak lebay, tapi beneran deh.)

Pelajaran dari Udinese:

  • Kamu nggak perlu besar untuk jadi kuat. Lihat aja Udinese, dengan sumber daya terbatas, bisa ngelawan tim kaya.

  • Jangan takut kehilangan, kalau kamu siap buat berkembang lagi. club ini sering banget jual bintang, tapi selalu move on.

  • Fokus pada proses, bukan pencitraan. Mereka nggak peduli popularitas, mereka peduli performa.

Udinese Calcio, Simbol Perjuangan Tanpa Sorotan

Mungkin Udinese nggak akan juara Serie A dalam waktu dekat. Tapi saya yakin, mereka akan tetap jadi batu sandungan yang bikin tim besar keringetan.

Dan buat saya pribadi? Mereka jadi pengingat bahwa kadang jadi “biasa-biasa saja” itu bukan kelemahan. Itu kekuatan, asal kamu tetap gigih dan tahu siapa dirimu.

Jadi, kalo kamu capek ngikutin tim besar yang isinya drama terus, coba deh liat Udinese Calcio. Mungkin kamu juga bakal jatuh cinta.

Filosofi Bermain: Strategi yang Nggak Bikin Malu Meski Lawan Tim Besar

Satu hal yang bikin saya betah nonton Udinese itu adalah cara mereka main. Mungkin di atas kertas formasi mereka biasa aja—3-5-2, atau kadang 4-2-3-1—tapi yang saya suka itu fleksibilitas mereka di lapangan.

Kamu perhatiin deh, lawan siapa pun, mereka nggak pernah tampil sembarangan. Kalau ketemu tim yang agresif, mereka bisa ngelock lini tengah dan tahan bola. Tapi kalau lawan tim yang lemah dalam bertahan, mereka langsung tancap gas dari sisi sayap.

Yang bikin saya terkesan juga, Udinese ini pinter banget manfaatin pemain sayap dan bek sayap. Posisi wingback jadi andalan mereka, dan itu konsisten dari zaman dulu. Saya masih inget sosok Mauricio Isla dan Pablo Armero, yang rajin banget bolak-balik dari belakang ke depan, dan sekarang estafet itu diterusin sama pemain muda seperti Festy Ebosele.

Dan lagi, Udinese tuh bukan klub yang sekadar parkir bus. Mereka tahu kapan harus main rapat, tapi juga tahu kapan harus buka serangan. Filosofi mainnya itu kombinasi antara taktik cerdas dan keberanian.

Manajemen Klub: Stabil Meski Bukan Tajir

Kalau kita bahas klub-klub besar, biasanya yang muncul di balik layar tuh nama-nama konglomerat. Nah, beda sama Udinese. Klub ini dimiliki oleh keluarga Pozzo, yang juga sempat punya Watford di Inggris dan Granada di Spanyol.

Buat saya, keluarga Pozzo ini contoh pemilik klub yang pinter kelola aset, tapi juga realistis. Mereka nggak gila-gilaan beli pemain mahal. Sebaliknya, mereka investasi di scouting dan pengembangan pemain. Filosofinya: beli murah, poles, jual mahal.

Saya tahu, di mata fans, kadang strategi ini bikin kesel karena tiap musim harus rela kehilangan pemain bagus. Tapi ya, itu cara Udinese bertahan hidup di kerasnya dunia Serie A. Dan herannya, mereka tetap bisa bersaing. Itu tandanya manajemen mereka jago banget muter otak.

Baca juga artikel menarik lainnya tentang PSM Makassar: Klub Tertua yang Masih Garang, Ini Kekuatan dan Prestasinya disini

Author