Ketika Larangan Social Media: Cerita Saya Melepaskan Diri dari Dunia Maya

Larangan Social Media

Larangan Social Media Saya nggak pernah nyangka akan hidup di zaman di mana media sosial dilarang. Awalnya cuma isu, lalu jadi wacana, lalu boom—dalam semalam, semua platform seperti Instagram, Twitter, TikTok, bahkan Facebook mendadak nggak bisa diakses. Banyak yang panik, termasuk saya.

Bukan karena saya influencer atau kerja di bidang digital marketing. Tapi karena media sosial itu sudah jadi bagian dari hidup saya. Setiap pagi, hal pertama yang saya buka: Instagram. Scroll feed, cek story teman. Kadang cuma buat lihat kucing lucu atau berita ringan.

Jadi ketika larangan itu benar-benar terjadi, saya ngerasa seperti dicabut dari dunia yang selama ini saya tinggali.

Shock Hari Pertama: Ketika Media Sosial Benar-Benar Diblokir

Larangan Social Media

Ketergantungan Itu Nyata, dan Saya Baru Sadar Setelah Dilarang

Hari pertama tanpa Larangan Social Media itu… jujur aja, bikin gelisah.

Saya ngeluarin HP berkali-kali. Jemari otomatis buka aplikasi, lalu bengong lihat layar error. Nggak ada update, nggak ada notifikasi. Bahkan grup WhatsApp rame bahas VPN. Semua orang ngerasa seperti kehilangan arah.

Saya mulai mikir, kok segitunya, ya? Padahal ini cuma Larangan Social Media. Tapi ternyata, dari bangun tidur sampai sebelum tidur, saya selalu nempel sama layar. Rasanya kayak kehilangan radar sosial. Saya bahkan nggak tahu ulang tahun siapa minggu ini, atau siapa yang lagi liburan ke Bali.

Larangan ini jadi cermin besar: saya benar-benar ketergantungan. Dan saya yakin, saya nggak sendirian.

Pekerjaan dan Aktivitas Digital Terhenti, Lalu Adaptasi Dimulai

Satu minggu pertama itu chaos banget. Teman saya yang kerja di agency marketing langsung kena dampaknya. Kampanye digital mandek, klien ribut. Sementara saya yang biasa update artikel blog lewat promosi Instagram merasa trafik drop drastis.

Tapi seperti biasa, manusia itu adaptif. Perlahan kita cari cara lain:

  • Pakai email dan SMS buat promosi

  • Balik lagi ke blog dan forum untuk diskusi

  • Gunakan media lokal atau komunitas WhatsApp untuk share informasi

Ternyata, dunia nggak kiamat. Cuma berubah bentuk. Saya mulai pakai waktu luang buat nulis lagi. Baca buku yang dari dulu cuma jadi pajangan. Bahkan mulai masak!

Saya ngerasa kayak kembali ke tahun 2005—tanpa notifikasi, tanpa FOMO, tanpa scrolling berjam-jam tanpa sadar.

Dampak Emosional: Dari Gelisah Jadi Tenang

Larangan Social Media

Setelah dua minggu, ada satu hal yang mengejutkan saya: kepala saya lebih tenang.

Biasanya saya gampang terdistraksi. Lihat story teman di kafe baru, langsung pengen ikutan. Lihat orang traveling, langsung ngerasa hidup saya kurang seru. Tapi sejak media sosial dilarang, semua tekanan sosial itu hilang.

Saya nggak merasa perlu “ikut-ikutan” lagi. Saya jadi lebih fokus ke hidup sendiri, bukan hidup orang lain. Dan yang paling terasa: tidur saya lebih nyenyak, karena nggak ada godaan doomscrolling sampai jam 2 pagi.

Jujur aja, saya mulai menikmati hidup tanpa Larangan Social Media.

Dampak Sosial: Relasi yang Lebih Nyata, Bukan Sekadar Likes

Dulu, saya merasa udah cukup “bersosialisasi” hanya dengan like dan react di story teman. Tapi sekarang, karena nggak bisa update atau stalking, saya mulai cari tahu kabar orang dengan cara lama: nanya langsung.

Saya mulai nelpon sahabat saya yang udah lama nggak ngobrol. Main ke rumah sepupu. Ngopi bareng teman SMA yang biasanya cuma saya like fotonya setiap ulang tahun.

Dan ternyata, ngobrol langsung itu rasanya beda. Lebih hangat. Lebih nyata. Nggak ada filter, nggak ada editan, cuma percakapan jujur dari hati ke hati.

Tapi Gimana dengan Kebebasan Berekspresi?

Meski saya menikmati manfaat pribadi dari Larangan Social Media, saya nggak bisa tutup mata dari satu sisi penting: kebebasan berekspresi.

Banyak teman saya yang aktif menyuarakan isu sosial dan politik ngerasa kehilangan platform. Aktivis digital, jurnalis independen, dan konten edukatif jadi kehilangan audiens. Ini bukan cuma soal lucu-lucuan atau update selfie—ini soal ruang berbicara.

Saya mulai sadar, Larangan Social Media bukan sekadar hiburan. Dia juga alat demokrasi. Dan larangan ini, suka atau tidak, merampas hak warga untuk menyuarakan pendapatnya secara luas.

Banjir VPN dan Aplikasi Alternatif

Larangan media sosial bukan berarti akses langsung putus total. Dalam waktu 24 jam, grup-grup Telegram penuh tutorial pakai VPN. Bahkan ada yang rela bayar layanan premium demi bisa tetap update TikTok dan Twitter.

Saya sempat tergoda juga. Tapi akhirnya saya tahan. Saya ingin tahu sampai sejauh mana saya bisa bertahan tanpa “dunia itu”.

Namun realitanya: sebagian besar orang tidak bisa lepas. Mereka balik lagi, lewat pintu belakang.

Ini bukti bahwa larangan tanpa solusi hanya menimbulkan perlawanan. Dan kadang, perlawanan itu lebih destruktif daripada keterbukaan yang diatur.

Efek ke Dunia Usaha dan Ekonomi Digital

Sektor UMKM yang mengandalkan media sosial untuk promosi adalah korban terbesar. Teman saya jualan hijab online. Sejak Instagram diblokir, omzetnya anjlok. Dia coba pindah ke marketplace, tapi nggak secepat itu.

Content creator juga kelimpungan. Pendapatan ads hilang. Brand kehilangan saluran promosi murah. Banyak pekerja kreatif kehilangan ladang rejeki.

Saya sempat bantu satu teman bikin website toko online pribadi. Dan ternyata… banyak banget yang lagi cari jalan keluar yang sama. Larangan ini memaksa kita untuk berpindah, tapi belum tentu siap semua orang punya skill dan modal untuk itu dikutip dari laman resmi wikipedia.

Apa Sebenarnya Tujuan di Balik Larangan Ini?

Larangan Social Media

Banyak spekulasi: demi keamanan, menghindari hoaks, atau membatasi penyebaran konten negatif.

Saya paham, dunia maya itu memang beracun kadang-kadang. Tapi apakah solusi terbaik adalah melarang semuanya sekaligus? Saya jadi mikir: kenapa bukan edukasi digital yang ditingkatkan? Atau filter cerdas, bukan larangan total?

Soalnya, yang jadi korban bukan hanya yang bikin onar. Tapi juga yang sekadar pengen berbagi resep, berbagi tawa, atau sekadar cerita.

Pelajaran yang Saya Dapatkan Setelah 30 Hari Tanpa Medsos

Setelah sebulan penuh hidup tanpa Larangan Social Media, saya menyimpulkan beberapa hal:

  1. Larangan Social Media memang adiktif, tapi bukan musuh
    Yang penting cara pakainya.

  2. Bisa hidup tanpa media sosial, tapi perlu adaptasi
    Apalagi kalau penghasilan kamu dari dunia digital.

  3. Hidup terasa lebih tenang, tapi juga sunyi
    Karena sebagian kehidupan sosial kita memang sudah ada di sana.

  4. Kebebasan berekspresi adalah hak yang perlu dijaga
    Jangan karena segelintir masalah, kita korbankan semuanya.

Kalau Ditanya, Saya Mau Media Sosial Dilarang Lagi atau Tidak?

Jujur, nggak.

Bukan karena saya nggak bisa hidup tanpa itu. Tapi karena saya percaya, masyarakat harus diajak pintar, bukan dibungkam. Larangan Social Media itu ibarat pisau: bisa buat masak, bisa buat nyakiti. Yang penting siapa yang megang.

Saya lebih setuju kalau ada pembatasan yang cerdas. Edukasi literasi digital di sekolah. Filter algoritma. Bimbingan untuk konten positif. Bukan pemblokiran total.

Larangan Ini Mengubah Saya, Tapi Bukan Jalan Keluar yang Ideal

Larangan media sosial ini jadi pengalaman pribadi yang mengubah saya. Saya jadi lebih sadar, lebih fokus, dan lebih bisa mengontrol waktu.

Tapi di sisi lain, saya juga melihat banyak orang yang terpaksa berhenti berkarya, berhenti berbagi, dan kehilangan ruang publik digitalnya.

Jadi, meskipun saya bersyukur bisa lepas dari ketergantungan, saya tetap berharap kita bisa punya solusi yang lebih bijak. Bukan sekadar larangan, tapi pembenahan.

Karena pada akhirnya, kita butuh ruang untuk terhubung, tapi juga tanggung jawab untuk menjaga ruang itu tetap sehat.

Baca Juga Artikel dari:

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Social Media

Author